Pages

Friday, December 3, 2010

Why Jakarta?

Yeah, that city is the biggest dream of all Indonesian people I think. They all want to have a proper life in Jakarta, big city life, feel the bustle, big palace home in a wealthy neighborhood and ofcourse, have their own money tree. That's the curse of centralized development a long time ago. Now eat that!

Kenapa semua orang mau hidup dan berkarir di Jakarta? Apakah hanya karena di kota itu banyak gedung-gedung pencakar langit, banyak pekerja kantoran yang mondar-mandir, banyak yang kemudian pulang kampung dengan membawa kantong penuh uang dan sejuta cerita kesuksesan setelah bekerja di sana? Tapi apakah mereka yang bermimpi untuk tinggal dan berkarir di Jakarta itu mengenal pepatah yang mengatakan bahwa 'rejeki setiap orang berbeda'?

Selama 23 tahun saya tinggal di Jakarta. Lima tahun terakhir tidak sepenuhnya, karena saya kuliah di Universitas Padjadjaran di Jatinangor dan sungguh itu membuka mata saya dan inilah sebabnya saya bisa berbagi sedikit tentang fenomena yang terjadi. Saya lahir dan besar di Jakarta dan sempat menganggap bahwa, ok, Jakarta adalah kota terbaik di Indonesia untuk saya tinggal. Then, I got it wrong.

 Ya, Jakarta memang megah. Jutaan kesempatan kerja terbuka lebar, infrastuktur perkotaan, walaupun tidak terlalu sempurna, hampir tidak kalah dengan kota-kota besar di dunia. Semua hiburan khas masyarakat urban ada di kota terbesar di Indonesia itu. Yang tidak ada hanyalah keadilan. Begitu menurut mereka, gelandangan, warga penghuni bantaran kali, pengamen dengan nyanyian-nyanyian makiannya kepada pemerintah dan menganggap pemerintahlah yang bertanggungjawab atas hidup mereka, dan semua orang Indonesia yang merasa bahwa dunia ini tidak adil. Sekarang saya tanya, untuk apa mereka ke Jakarta? Mencari pekerjaan yang katanya banyak terbuka lebar itu? Sekarang, apa kemampuan mereka? Lulusan universitas mana? Apa gelar mereka? Nothing. Mereka hanya mendengar kabar tetangganya di kampung yang sukses bekerja di Jakarta, bisa membelikan rumah untuk keluarganya di kampung, tapi tidak melihat kenyataan yang ada. Mungkin tetangganya seorang interpreneur yang bisa membaca semua peluang usaha sehingga sekarang sukses, sementara dirinya hanyalah seorang anak petani yang mungkin memiliki taraf pendidikan yang sama dengan tetangganya itu namun tidak punya kejelian seperti tetangganya tersebut.

Bukan hanya untuk mereka 'pihak yang dirugikan' (padahal karena dirinya sendirilah, mereka merugi), namun juga pihak 'terpelajar' yang berbuat hal bodoh semacam itu. Tidak sepenuhnya bodoh karena mereka memiliki gelar dan keterampilan, namun pemikiran mereka yang kurang kreatif.

Jakarta terlanjur dibangun sebagai kota pusat segalanya. Pemerintahan, kegiatan perekonomian, bahkan pusat segala masalah sosial dan lingkungan. Kemiskinan, kebodohan, kriminalitas. Banjir, macet, polusi, kurang air bersih dan semuanya. Apa yang tidak ada di kota ini? Oh ada...kemerataan. Kota ini tidak kemudian menyebarkan benihnya ke kota lain di Indonesia. Mungkin dengan adanya otonomi daerah, keadaan ini bisa di-reduce. Kata siapa.. Masih banyak orang yang setelah lulus bekerja, berorientasi utnuk mencari sesuap nasi di Jakarta. Kenapa harus di Jakarta?

Masih banyak kota di Indonesia. Dan kenapa juga harus di kota? Di desa pun kita bisa meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Rokok. Industri rokok banyak bermunculan di kota-kota kecil di Indonesia, namun mereka bisa sukses. Banyak pemiliknya, ya walaupun pada akhirnya membangun gedung megah di Jakarta, namun setidaknya semudanya berasal dari daerah luar Jakarta. Namun ini tidak banyak terjadi, setidaknya yang saya tahu.

Kita harus merubah pola pikir ini. Ini tidak benar. Mengapa kita harus hidup di Jakarta? Membiarkan Jakarta tumbuh melesat dibandingkan kota-kota lainnya, membuat desa sepi, tidak ada yang mengurus pertanian, peternakan, sehingga harga makanan mahal, dan kemudian berlanjut ke masalah sosial lainnya. Seperti biasa, semua hanya bermodal nekat, tanpa melihat semuanya dari berbagai sisi, jangka pendek dan jangka panjang. Sekarang lihat, banyak sekali kaum miskin yang sebagian besar tinggal justru di kota besar. Siapa tahu jika mereka bisa setidaknya berusaha bersabar, mereka bisa mendapatkan sebuah kehidupan yang layak di desa. Lagipula biaya hidup di luar Jakarta tidak akan terlalu menyedot uang penghasilan.

Kota Jakarta sudah terlalu sesak. Dengan banyaknya kendaraan pribadi, kurangnya sarana transportasi massal yang memadai, kurangnya kualitas lingkungan di Jakarta, apa sebenarnya yang dicari di Jakarta? Gelar sebagai 'orang Jakarta'? Apa yang membanggakan..

Setiap saya pulang ke Jakarta, kembali ke rumah, saya tidak pernah enjoy jika sudah bersentuhan dengan jalan raya pada jam-jam sibuk di Jakarta. Saya bisa menghabiskan waktu 2 jam bahkan lebih jika kondisi lalu lintas tidak bersahabat. Tapi sayangnya itu semua sudah dimaklumi warga Jakarta sendiri dengan mengatakan "namanya juga Jakarta"..termasuk saya juga mengatakan itu.

Tidak salah memang untuk tinggal di kota itu. Semua orang berhak karena Jakarta adalah ibukota negara kita sendiri. Namun semua orang juga harus mawas diri. Apakah dirinya memenuhi 'syarat' sebagai warga Jakarta? Syarat untuk bisa bersaing dengan jutaan usia produktif, memiliki kemampuan untuk meraup uang sebanyak-banyaknya, tapi tidak dengan cara yang diharamkan hukum.
 

Ada yang mengatakan, 'Jakarta keras, bung'. Dan saya sejalan dengan itu. It is. Jakarta memang keras. Bukan sebuah kota yang merangkul erat penghuninya, bukan kota yang banyak memberikan ketenangan. Hanyalah kota yang membuat warganya sendiri stress dengan segala kompleksitas permasalahannya.

Ketika pemerintah meresmikan otonomi daerah, tentu banyak daerah senang. Daerah kemudian mendapatkan kesempatan untuk menikmati potongan kue, walaupun saat ini saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya saat ini. Mungkin dapat bagian, namun masih banyak tercecer di Jakarta. Potongan terbesarnya tetap dinikmati di Jakarta.

Kalau mau tahu lebih tentang Indonesia, saya sarankan jauh Jakarta. Jakarta sudah terlalu modern. Bagus, tapi menjadi tidak bagus jika ternyata banyak warganya yang bahkan tidak layak untuk hidup di kotanya sendiri. Jakarta mungkin memang bagus, tapi tidak cukup bagus untuk saya. Jadi, kenapa Jakarta? Saya tidak terpikir untuk tinggal di kota itu.. We'll see


Jatinangor,
y&c

2 comments:

.dyah. said...

harus banyak ftv dan sinetron yang bahas kayak beginian. mengingat orang endonesa lebih percaya pada sinetron dan ftv dibandingkan kenyataan sebenarnya. hahaha. *teori komunikasi*

Aprizya said...

ucapkan selamat kepada si Bapak Pembangunan yg tlah terbukti berhasil menusukkan jarum hipodermik ke seluruh nadi WNI :D

Post a Comment