Pages

Sunday, March 21, 2010

I’m sorry Eric

Saya masih duduk di sini.  Matahari yang berwarna jingga mulai bersembunyi di balik lembayung awan mendung di tengah lautan. Sepertinya sudah hujan di laut sana, tapi saya masih tidak ingin pergi dari pantai ini.

Sesekali ku tenggak botol bir warna hijau yang ada di genggamanku. Pantai, bir dan sunset adalah sebuah padanan yang sangat serasi. Mataku menatap ke depan.

Tatapan kosong…

______________________

Hey, aku cariin kamu kemana-mana, ternyata ada disini,” teriaknya sambil lari tergopoh-gopoh dari pondokan tempat kami menginap semalam.

Iya, aku lagi butuh udara segar,” jawabku sambil sekilas menatapnya kemudian kembali sibuk dengan tweeting. Saya baru saja ngetweet ‘Pantai dan kesendirian. Lame’

***

Semalam kami bertengkar hebat. Rasanya tidak pantas jika harus saya uraikan disini apa isi pertengkaran kami. Terlalu menyakitkan untuk dideskripsikan. Intinya adalah, dia terlalu mencintai egonya tanpa mempedulikan perasaanku. Yaaa, lagi-lagi masalah ego yang selalu menjadi tembok beton diantara kami.

Pacarku, eh salah, maksudku, mantan pacarku, karena kami baru saja putus semalam, adalah seorang pria keturunan Belanda Jawa. Maksud liburan kami ke Pantai Batu Karas ini adalah untuk merayakan hubungan kami yang sudah mencapai usia 3 tahun. Waktu yang lama untuk sebuah hubungan. Rencana awalnya adalah, kami ingin melakukan first sex kami di pinggir pantai. Bukan first sex sesungguhnya, karena kalian pasti tahu bagaimana hasrat seksual orang bule yang sangat menggebu-gebu, sudah pastilah saya sudah tidak perawan.

Minggu depan, mantan pacar saya akan kembali ke negara asalnya, Kanada, karena visa dia di Indonesia sudah habis. Ya dia memang keturunan Belanda Jawa, tapi dia lahir dan besar di Toronto, sebuah kota besar di tepi Danau Ontario di Kanada.

Susah memang berhubungan dengan orang asing. Faktor bahasa bukan sebuah halangan, melainkan pola berpikir dan cara pandang mereka yang terkadang cenderung individualis.

Saya sudah menantikan sebuah cincin lamaran bertahtakan berlian darinya untuk disematkan di jari manis ini selama 3 tahun usia pacaran kami. Ada saja alasan yang keluar dari mulutnya. Salah satunya, karena saya seorang muslim sedangkan dia adalah seorang Yahudi. Bukan dia yang Yahudi sebenarnya, melainkan keluarganya. Dia adalah seorang agnostic. Dia dan saya, atau mungkin kalian semua sebenarnya sama saja, beragama karena ‘paksaan’ sejak lahir. Ok, cukup soal agama.

Saya akan ditinggalkan, Eric, nama mantan pacar saya itu. Eric Swatson, akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya. Saya diajak untuk ikut serta hijrah ke Kanada, namun saya menolak. Saya sadar, sebenarnya semua orang memiliki haknya untuk memilih jalan hidup masin-masing. Namun tidak semudah itu. Sebagai orang Sunda asli, saya sangat dekat dengan keluarga saya. Saya tidak bisa jauh dari mereka. Saya tidak menyalahkan diri saya yang terlahir sebagai seorang Indonesia yang sangat mengagung-agungkan keluarga, norma dan adat istiadat. Justru saya bangga akan hal itu. Saya memiliki sebuah pedoman hidup, sehingga saya tidak akan jatuh sendirian suatu hari nanti. Masih ada keluarga. Setidaknya.. Bahkan saat saya pertama kali berhubungan dengan Eric, kedua orangtua saya langsung berceramah panjang lebar, tidak mau anaknya disakiti oleh orang bule. Mungkin trauma masa penjajahan..

Sungguh sebuah kegilaan. Saya tidak menyangka akan menolak ajakan Eric. Saya tunggu dia selama 3 tahun untuk cincin itu, namun ketika saya diajak hijrah bersamanya, malah saya menolak. Saya sangat mencintainya namun dia seorang tidak cukup. Saya juga memerlukan orang-orang terdekat saya untuk ada di sekeliling saya. Akhirnya.. Dia memutuskan saya, membuang saya, kemarin malam.

***

Aku harus segera pulang,” bisik Eric sambil menatap lurus ke tengah lautan. Ombak yang besar menghantam tepi pantai menambah dramatis suasana perpisahan itu. Menggambarkan hati saya yang sedang digerus jahatnya ombak percintaan.

So go away. Just go away!

Hey what’s a matter with you? Ini bukan Juwita yang aku kenal. Juwita yang aku kenal adalah seorang perempuan Sunda yang selalu tersenyum dan sabar menghadapi semuanya. Mana semua perkataan bijak yang selama 3 tahun ini selalu kamu katakan ke aku?

…deburan ombak…

Ok fine. I’ll go then,” teriak Eric sambil berdiri, membersihkan celana bagian belakangnya dari pasir, lalu pergi meninggalkanku. Sendirian..

Hey Juwita!! I love you.. Forever,” tiba-tiba saya dengar  teriakan dia. Aku toleh ke belakang, ternyata dia meneriakkan itu sambil terus berlalu.

Saya terdiam..

______________________

Dua jam setelah kudengar teriakan itu, inilah saya. Masih terduduk di pantai.

Tiba-tiba saya tersadar. Sebenarnya saya lah yang egois. Eric sudah mengorbankan dirinya selama 3 tahun ini di Indonesia. Seharusnya, perjalanan bisnisnya sudah selesai sejak 2 tahun lalu. Namun ketika kami pertama kali bertemu di sebuah klub malam di Kota Bandung, sejak itulah dia harus memperpanjang visanya untuk terus dekat denganku.

Tapi apa yang aku lakukan? Aku justru memilih untuk tetap tinggal di sini. Di comfort zone ini. Kedua orangtuaku pun sebenarnya sudah merestui jika suatu saat saya akan diboyong ke Kanada. Itu mereka katakan saat mereka menceramahi saya saat pertama kali berhubungan dengan Eric. Tapi ada apa denganku?

Saya terlalu egois karena tidak memandang semuanya dari banyak sudut pandang. Sayalah yang tidak mengerti perasaan Eric. Sayalah tidak berani untuk hidup di luar negri, jauh dari keluarga. Padahal dengan harta yang Eric miliki, saya bisa saja memasang sambungan internet di rumah, sehingga bisa melakukan video call via internet jika kangen keluarga di Indonesia.

Semua sudah telat. Saat ini pasti Eric sudah jauh. Tidak mungkin bagi saya untuk mengejarnya. Tapi saat terakhirnya, dia bilang dia sayang sama saya.

Ah tidak, saya tidak ingin menyakiti hatinya untuk kedua kalinya. Jika kemudian saya menyusulnya, kemudian ternyata saya melakukan tindakan egois untuk kedua kalinya, saya rasa saya perlu dihukum oleh Tuhan karena menyakiti hati orang yang sama sebanyak dua kali.

Di pantai ini saya hanya bisa mendoakan dia. Mendoakan supaya dia menjadi seorang manusia yang bisa menyayangi keluarganya nanti seperti dia menyayangi saya. Suara tangisan saya tertutup oleh deburan ombak yang menabrak karang. Jejak langkah kaki Eric di pasir sudah hilang tersapu ombak. Matahari rupanya sudah mengintip dari horison. Langit mulai gelap, dan ternyata lembayun mendung itu sudah mendekat. Tetesan hujan mulai turun.

Hahhh, biarlah semua ini larut dalam hujan.  Kehidupan ini akan sangat berbeda jalan ceritanya, tergantung dari apa langkah dan upaya yang kita tempuh. Saya, perempuan dengan segala ketakutan dan keegoisan ini, akhirnya harus kehilangan sosok seorang Eric Swatson yang sangat sempurna bagi saya.

I’m sorry Eric..

Jatinangor, y&c

Friday, March 12, 2010

Anti Aging

Terinspirasi dari Dialog Tua yang Tak Akan Usang

_________________________

Salah satu hal yang saya takutkan dalam hidup ini adalah menjadi tua renta, keriput dan tidak berdaya. Bagi saya, menjadi orang seperti ini bagai hidup segan mati tak mau.. Hidup sepertinya tinggal menghitung hari, namun waktu itu tidak kunjung datang. Hidup yang tidak pasti. Mati belum, raga masih ada, namun jiwa dan semangat seakan runtuh bersama dengan matinya sel-sel dalam tubuh.

Setidaknya mungkin itu gambaran yang saya dapatkan dari sekian banyak orang tua renta yang ada di sekitar saya. Mereka hanya bisa berdiam diri, menunggu uang pensiun, menunggu anak cucunya bersilaturahmi ke rumah di desa. Sungguh gambaran pelajaran SD yang menurut saya sangat salah kaprah. Doktrin yang tidak mendidik. Pelajaran keluarga semacam itu justru menjadikan saya sebagai orang yang membenci hari tua. Saya tidak mau jika saat saya tua, saya hanya tinggal di desa, menjadi kakek yang baik, gigi ompong, berbicara terseok-seok, berjalan menggunakan tongkat, dan melambaikan tangan di teras rumah kala anak cucu sudah kembali ke ibukota. Picisan!

Sebenarnya tidak ada dalam bayangan saya, bagaimana perjalanan hidup saya untuk sampai pada tahap kakek” itu. Kebimbangan yang ada dalam diri ditambah dengan mitos 2012, semakin memburamkan pandangan saya. Kepergian kakek saya yang terlalu cepat, membuat saya tidak mengenal figur kakek dengan baik, justru di masa dimana saya sudah mulai bisa meraba semua sudut-sudut kehidupan dengan lebih baik.

Ketakutan saya bukan hanya secara fisik. Yaaa, secara fisik memang menyeramkan, membayangkan badan seksi tidak montok ini tiba-tiba berubah peyot, kulit super kering dan bergelambir. Yang biasanya saya mampu berdiri Jatinangor-Jakarta, pada masa tua saya bahkan tidak mampu berjalan sendiri ke kamar mandi. Yang biasanya saya bisa berteriak keras dan cempreng, kemudian orang sekitar saya bahkan tidak mengerti apa yang saya katakan. Sungguh neraka dunia!

Saya tidak mau diremehkan. Mungkin itu intinya. Sekarang saja, jika saya diremehkan saya bisa memberontak. Nah jika tua nanti, pasti kan saya akan diremehkan. Dan pada saat itu, dapat dipastikan saya tidak punya daya lagi untuk memberontak! Mental saya mulai terguncang. Mulai dari keburaman masa depan sampai inti peremehan ini, semuanya seakan menjadi bom waktu. Sekarang sudah tahun 2010, saya sudah berusia 22 tahun dan harus mempersiapkan hidup ke depan lepas dari orangtua. Entah apa yang direncanakan Yang Diatas, setidaknya saya hanya ingin agar masa depan saya lebih jelas dan dapat saya lihat seperti ketika saya melihat tayangan televisi satelit. Semuanya begitu jernih dan jelas sehingga apa yang akan dituju dapat langsung tepat sasaran. Drop gak sih kalo ntar gw tua? Auk ah!

 

Jakarta, y&c

Sunday, March 7, 2010

2 Eyes, 2 Ears, 1 Brain, 1 Heart

Kita lahir dengan 2 mata di depan wajah kita, karena kita tidak boleh selalu melihat ke belakang.

Pandanglah semuanya ke depan, pandanglah masa depan kita.

____________________________

Kita dilahirkan dengan 2 buah telinga di kanan dan di kiri, supaya kita bisa mendengarkan semuanya dari dua buah sisi.

Untuk bisa mengumpulkan pujian dan kritik dan menyeleksi mana yang benar dan mana yang salah.

____________________________
 

Kita lahir dengan otak di dalam tengkorak kepala kita. Sehingga tidak peduli semiskin apapun kita, kita tetap kaya. Karena tidak akan ada satu orang pun yang bisa mencuri otak kita, pikiran kita dan ide kita. Dan apa yang kita pikirkan dalam otak kita jauh lebih berharga dari pada emas dan perhiasan.

____________________________

Kita lahir dengan 2 mata, 2 telinga tapi kita hanya diberi 1 buah mulut. Itu artinya kita harusnya lebih mendengar, melihat 2 x lebih banyak daripada berbicara. Berhati-hatilah dengan apa yang kita ucapkan. Karena ucapan yang menyakitkan sangat sulit ditarik kembali. Sehingga ingatlah bicara yang perlu tapi lihat dan dengarlah sebanyak-banyaknya.

____________________________

Kita lahir dengan 1 hati jauh di dalam tulang iga kita. Mengingatkan kita pada penghargaan dan pemberian cinta diharapkan berasal dari hati kita yang paling dalam. Belajar untuk mencintai dan menikmati betapa kita dicintai tapi jangan pernah mengharapkan orang lain untuk mencintai kita seperti kita mencintai dia. Berilah cinta tanpa meminta balasan dan kita akan menemukan cinta yang jauh lebih indah.

 

Jatinangor, y&c