Pages

Tuesday, July 27, 2010

Empire State of Mind of Me

Lantunan lagu Empire State of Mind sengaja saya lantunkan di laptop ini. Lagu ini dimainkan di sebuah club bernama Hu'U di daerah Seminyak, Bali, kala saya berkunjung ke sana minggu lalu. Entah mengapa lagu ini terus menggaung di otak.

Saya hanya memainkan satu lagu ini. Terus berulang. Entah.. Seakan lagu ini membawa saya menuju tempat tertinggi. Menuju pemikiran tertinggi seorang saya. Apa tujuan hidup ini..

Sekelebat saya berpikir.
Mengapa manusia lahir, hidup, menua lalu mati? Mengapa harus seperti itu siklus hidup kita? Apa gunanya semua kenangan, ingatan, semua keringat yang kita curahkan untuk tetap hidup, semua rasa senang, sedih, tawa, teman, sanak keluarga, semua barang yang kita beli. Apa gunanya semua itu jika pada akhirnya kita akan membusuk di dalam tanah, dimakan cacing, lalu hilang lenyap dari bumi ini?


Saya seorang muslim. Bukan muslim yang taat atau mengerti ilmu agama. Hanya sebatas menjalankan kepercayaan saya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saya pun tidak tahu menahu mengenai sejarah Nabi dan semua tetek bengeknya. Bukan tidak peduli, bukan tidak ingin tahu, namun saya rasa sudah agak terlambat. Naif kalau Anda bilang tidak ada yang terlambat. Saya terlalu malu untuk memulai semua dari awal di umur saya yang sudah meginjak 23 tahun. Hampir seperempat abad ya Tuhan!

Tuesday, July 6, 2010

1508 #001

Lagi-lagi mimpi buruk. Keringat bercucuran dan jantung berdetak dengan sangat cepat. Saya miringkan badan untuk meraih jam digital di samping tempat tidur. Pukul 3 dini hari dan saya baru tertidur 2 jam. Bayangan masa lalu itu kembali menghantui ketenangan jiwa saya.

“Kamu gak apa-apa sayang?”

Saya kaget mendengar suara itu. Suara yang tidak pernah saya dengar sebelumnya. Sangat asing.. Ohhh, saya ingat sekarang. Dia adalah Daniel Siregar, perancang adi busana yang sedang naik daun di negri ini. Tadi malam saya menjadi model catwalk baju rancangannya di sebuah peragaan busana paling akbar di kota ini. Saya memang berprofesi sebagai model. Model murahan yang bisa ‘dinikmati’ 24 jam dengan bayaran selembar cek senilai 30 juta. Dan itu minimal. Saya pernah mendapatkan 3 kali lipat dari itu. Entah si Daniel jelek ini akan membayar saya berapa. Pria ngondek berperawakan sangat Batak. Aneh rasanya dengan muka garang seperti itu bisa sangat ‘melambai’. Senyum tipis.

“Kok kamu tersenyum? Tadi malem enak banget. Kamu memuaskan.”

..diam.. “Aku pengen kamu pergi dari sini sekarang.”

“Kenapa?”

“Aku bilang, PERGI! Jangan lupa tinggalkan ceknya di meja ruang TV.”

Perancang ngondek itu sepertinya ketakutan dan langsung terbirit-birit mengenakan bajunya lalu kabur. Entah dia tinggalkan ceknya atau tidak. Jika tidak, siap-siap saja besok dia sudah tinggal nama.

Saya tinggal di apartemen ini seorang diri. Dari hasil keringat saya. Literally. Keringat yang saya keluarkan di tempat tidur ini. Saya sudah selayaknya gigolo. Terserah saya mau dipanggil apa. Profesi model tidak akan mampu memenuhi gaya hidup konsumerisme saya. LV, Hermes, Gucci dan semua merek ternama dunia menghiasi kloset saya. Saya gila belanja dan senang kemewahan. Saya harus hidup dalam gemerincing koin emas dan bermandikan berlian. Saya tidak bodoh, saya sarjana kedokteran sebuah universitas berplat merah terbaik di kota ini.

Nama saya? Mereka biasa memanggil saya, boy toy.

 

Julian Sastradinata

Sunday, July 4, 2010

IDR Sixty million

DSC03006 Dedicated for my lovely parents..

Rp 60.000.000,- atau enam puluh juta rupiah. Jumlah uang yang sudah dikeluarkan orangtua saya untuk menguliahkan saya selama hampir 5 tahun ini.

Jumlah 60 juta itu bukan jumlah yang pas. Saya hanya mengira-ngira pengeluaran untuk biaya kos, uang bulanan (yang sebenarnya jumlahnya juga tidak pasti) dan biaya kuliah (yang sudah sangat murah jika dibandingkan biaya kuliah di universitas lain). Mungkin ada diantara Anda yang mencibir, “yah elah cuma 60 juta”. Hahhh shame on you. Bukan masalah jumlah uang sebenarnya poin saya membuat tulisan ini.

Saya percaya, bahwa kita semua berasal dari background keluarga yang berbeda-beda. Background dalam hal keuangan. Ada yang berasal dari keluarga mapan, uang bukan masalah, ada yang berasal dari keluarga dengan kemampuan ekonomi menengah, bahkan tidak sedikit mungkin yang berasal dari kelas ekonomi yang bisa dikategrikan sebagai keluarga miskin. Bukan ini juga poin saya menulis tulisan ini. Saya bukan mau membicarakan nilai kekayaan keluarga kita masing-masing.

Saya berasal dari keluarga yang bisa dikatakan stabil. Mengapa saya katakan stabil? Karena sama seperti keluarga yang lain, keluarga saya juga memiliki beragam masalah, namun alhamdulilah, semua masalah satu persatu bisa dipecahkan bersama. Saya tidak berasal dari keluarga dengan kemampuan ekonomi berlebih, namun alhamdulilah, Tuhan selalu melimpahkan rejeki pada keluarga saya.

Beberapa tahun yang lalu, ayah saya pensiun dari Bank Indonesia. Dulu dia bekerja di HRD. Lepas dari BI bukan berarti ekonomi keluarga saya runtuh. Memang terjadi penghematan, namun syukurlah ayah saya masih bisa meneruskan ilmunya menjadi seorang Notaris dan PPAT di Kota Cilegon, Banten. Di usianya yang tahun ini akan menginjak usia 59 tahun, saya kerap merasa khawatir jika dia harus bolak-balik Jakarta-Cilegon hanya untuk bertemu keluarganya.

Sore tadi, saya iseng menghitung kasar biaya yang sudah ayah saya keluarkan untuk membiayai hidup saya selama 5 tahun belakangan ini. Keluarlah angka 60 juta itu. Jumlah yang besar menurut saya. Sempat terlintas, bagaimana caranya saya harus membayar kembali semua biaya ini. Itu baru 5 tahun belakangan, bagaimana dengan biaya 17 tahun yang lain sejak saya lahir?!

Minggu lalu, saya dan keluarga melakukan perjalanan ke Semarang. Kami berempat berangkat menggunakan kereta Argo Muria. Kakak pertama saya tidak bisa ikut karena ada urusan pekerjaan. Mungkin Anda tahu, jika di kereta, kursi bisa diputar ke belakang. Kami berempat duduk berhadapan, ayah ibu saya duduk di satu sisi, saya dan kakak kedua saya duduk di sisi seberangnya. Ketika ayah ibu saya tertidur, terlintas dalam benak saya, “Ya ampun, ternyata orangtua saya sudah tua”.

15 hari lagi, saya berulangtahun yang ke-23 tahun, dengan masih berstatus mahasiswa. Belum bergelar sarjana, belum bisa meraih satu rupiah dari jerih payah sendiri. Memalukan? Ya. Terserah Anda mau berkomentar apa.

Saya percaya betul bahwa tidak ada satu manusia yang bisa menentukan kapan dia harus kembali ke pangkuan Ilahi. Seiring bertambahnya usia kedua orangtua saya, semakin diri saya tertekan. Takut jika sewaktu-waktu mereka dipanggil Sang Khalik, namun saya belum juga bisa menebus 60 juta itu.

Tidak mungkin rasanya jika saya harus mengembalikan puluhan juta rupiah literally kepada kedua orangtua saya. Saya paham, bukan seperti itu caranya menunjukkan bakti saya, mengembalikan semua yang telah mereka berikan kepada saya. Tidak dengan uang.

Rasa cinta merekalah yang harus saya balas. Tidak mungkin kedua orangtua saya mau dan rela menggelontorkan uang sedemikian banyak jika tidak karena rasa cinta mereka kepada saya. Saya bahkan tidak pernah menyampaikan secara langsung bahwa saya menyayangi mereka. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, saya kurang mampu untuk mengatakan secara langsung isi perasaan saya. Namun saya percaya, dengan segenap gesture saya, dengan semua tingkah laku saya, kedua orangtua saya paham bahwa saya juga menyayangi mereka.

Saya sendiri masih buram mengenai cara saya untuk membalas cinta kasih mereka. Tidak banyak yang bisa lakukan dalam waktu dekat ini. Belakangan, saya menjadi kian sungkan untuk meminta sesuatu kepada mereka. Dengan usia mereka, dengan usia saya, seharusnya saat ini saya tidak hanya berpangku tangan. Saya rela disalahkan karena belum juga menyelesaikan kuliah. Satu hal yang sangat saya inginkan adalah melihat mereka tersenyum bahagia di hari tuanya. Entah bagaimana caranya, namun niat baik ini tulus keluar dari hati saya, dan saya percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikan jalan terbaik untuk mewujudkannya.

Kehilangan kakek nenek saya untuk selamanya sudah cukup membuat saya terpukul karena belum bisa membahagiakan mereka. Dulu, saya pernah diceritakan almarhumah nenek saya. Ketika itu, kami berdua sedang dalam perjalanan dan melewati sebuah padang golf. Saya kemudian berceloteh kepada nenek saya, “Uti, nanti kalo aku udah besar, Uti temenin aku main golf ya”. Nenek saya kemudian menjawab, “yah kalo kamu udah main di sana, Uti ntar temenin dari tanah aja ya”. Sedih jika saya mengingat itu. Saya tidak ingin kesedihan itu kembali terulang kepada kedua orangtua saya. Saya ingin mereka masih bersama saya ketika saya sukses, dan saya bisa membayar kembali 60juta itu di hati mereka. Amin.

 

Jakarta, y&c

Friday, July 2, 2010

Know Yourself Better

What makes human as human?

Tonight, I read gebimeidina’s blog. She posts about her training experience for her next job (unfortunately, the company wasn’t accept her, screw them for it).

no-personality2

In that post, I click a link. Online personality test. You just need to sign-up, verify the username from email notification sent to you, then you can start the test. I took the test, then voila! Here’s the result:

Yogi is an optimistic individual. He is the type of person who loves exploring new places or things and a wide variety of experiences. He tends to display a natural charisma that draws others to his charm. Yogi is a very encouraging person; others are drawn to him because they find him inspirational.

A loyal friend, Yogi is patient and caring when attending to the needs of others. He is usually an even-paced individual who thrives in a peaceful, harmonious environment. He tends to be quite predictable, sticking with proven, reliable methods of dealing with situations rather than taking chances with a new, unproven approach.

Neat and orderly, others usually see Yogi as practical. He needs adequate information to make decisions, and he will consider the pros and cons. He may be sensitive to criticism, and will tend to internalize his emotions. Yogi likes to clarify expectations before undertaking new projects, and he will follow a logical process to gain successful results.

Because he cares about how others feel, Yogi may feel uncomfortable making decisions that strongly affect others. He typically encourages others to be involved in the decision making process and prefers to work in a team role. Others tend to see Yogi as agreeable and humble.

Sooo, what makes human as human? We need to know our own personality. Take that test, then try to know yourself better.

 

Jatinangor, y&c