Saya ‘pernah’ punya nenek…
Berat rasanya harus menyisipkan kata ‘pernah’ di kalimat itu.
Ini adalah kisah kami.. Nenek dan cucunya
3 Juni 2010 menjadi hari paling panjang dalam hidup saya. Ketika telepon berbunyi pukul 10.30 WIB, mendadak suasana pilu menyeruak ke seantero rumah.
“Ibu sudah gak ada..”
Dia meninggal di Cimahi, dalam perjalanan pulang menuju Jakarta. Nenek saya kembali dari pemakaman adiknya di Sumedang yang meninggal sehari sebelumnya di Bandung.
Nenek saya memang sudah tua. 7 Agustus nanti, dia akan genap berusia 87 tahun. Karena kemampuan jantungnya menurun, dia menggunakan alat pacu jantung. Ternyata teknologi manusia pun tidak mampu menolak kehendak Tuhan Sang Maha Kuasa.
Sungguh indah dia meninggal. Tidak ada sakit yang berkepanjangan. Hanya dalam helaan napas, arwahnya telah pergi menghadap Sang Ilahi. Kalau tidak salah, dia meninggal tepat sesaat setelah buang air besar. Menurut beberapa orang, itu artinya dia telah membersihkan dirinya sendiri sebelum menghadap Sang Khalik. Allahualam..
Penantian panjang sejak berita meninggalnya. Saya mempersiapkan rumah agar layak menjadi tempat persemayamannya sebelum dikuburkan esok hari. Meja, kursi dan karpet dirapikan. Dipan tempat meletakkan jenazah segera ditata. Tenda putih dipasang di pekarangan rumah. Beberapa sanak saudara segera berdatangan ke rumah. Saya membantu ibu saya untuk menelepon keluarga dan kerabat memberitahukan kabar duka kepergian sang bunda. Orang pertama yang saya telepon adalah ayah saya yang sedang bekerja di Cilegon.
Belum ada setitik air mata pun keluar dari mata saya. Saya berusaha tegar di tengah tangisan ibu dan kakak-kakak perempuan saya. Sempat saya update twitter untuk sekedar mendapat simpati dari teman dan sahabat. Dukungan yang hanya berupa kata-kata dalam 140 karakter ternyata ampuh membunuh kesedihan saya walau sesaat.
***
Pukul 15.00 WIB, rumah sudah siap menyambut kedatangan jenazah nenek saya. Bunga mawar di pekarangan rumah mendadak rontok, seakan ikut bersedih kehilangan sosok nenek saya.
Sirine ambulans berbunyi. Trauma. Saya sangat trauma mendengar suara ambulans sejak kakek saya meninggal 8 tahun lalu. Hati terasa seperti terhujam ribuan anak panah tiada henti.
Perlahan ambulans masuk ke tempat parkir dan pintu belakang terbuka. Saya, ibu dan kakak-kakak perempuan saya telah rapi menyambutnya di belakang ambulans. Akhirnya saya tidak tahan lagi. Hancur hati ini harus melihatnya dalam keranda. Rasa sakit teramat sangat sehingga saya tidak lagi mampu membendung air mata. Saya peluk ibu saya sekencang-kencangnya. Saya takut jika tiba-tiba saya pingsan karena kepala saya mendadak pusing.
Jenazahnya cantik. Mukanya berseri dan bersinar. Cantik sekali. Banyak sekali pelayat yang datang sampai pukul 2.00 WIB dini hari. Banyak saudara yang menginap di rumah sehingga saya dan beberapa orang tidur di samping kanan-kiri jenazah.
Saya jadi teringat.. Saat kakek saya meninggal, saya suka tidur berdua nenek saya, menemaninya dalam kesendirian. Banyak sekali kisah yang kami saat menjelang tidur..
***
4 Juni 2010, jenazah akan dimakamkan di sebelah makam suaminya. Hahhh.. Mereka adalah sepasang kakek nenek yang sangattt saya sayangi.
Saat akan diberangkatkan dari rumah, ada sebuah tradisi untuk mencium jenazah. Ini adalah saat terakhir saya untuk bisa menciumnya. Untuk melihat wajahnya dan merasakan kulitnya yang sudah kaku dan dingin. Saya tidak bisa menghentikan aliran air mata yang keluar. Kepedihan yang amat sangat..
Sebelum dimakamkan, jenazah disholatkan di sebuah Masjid di dekat rumah selepas Sholat Jumat. Subhanallah, banyak sekali jemaat sholat Jumat yang ikut menyolatkan. Indah..
Selesai disholatkan, jenazah dan rombongan pelayat segera membentuk barisan. Sekitar 30 mobil berjajar segaris dengan diiringi sirine ambulans dan bantuan dari pihak kepolisian untuk mengawal. Waktu tempuh dari rumah ke pemakaman di Lebak Bulus yang biasanya butuh waktu 20 menit, bisa ditempuh hanya dalam 5 menit.
Jenazah dimasukkan ke liang kubur. Setelah dikumandangkan adzan, tanah segera dimasukkan. Dia segera hilang dari pandangan saya. Papan kayu menutupinya, tumpukan tanah segera memenuhi liang kubur. Sekali lagi saya menangis. Banyak sekali bunga mawar indah yang ditaburkan. Wangi harum mawar segera semerbak mengharumkan pekuburan. Kakek dan nenek saya telah bertemu kembali di sana. Taburan bunga yang sangat banyak seperti sebuah pesta perkawinan. Indah sekali..
***
Saya tidak berlebihan untuk mengisahkan cerita ini. Nenek saya sudah saya anggap sebagai ibu saya juga. Dia ikut merawat saya sejak baru keluar dari kandungan. Di hari tuanya, dia bahkan selalu menyisihkan sedikit uang saat saya tengah pulang ke Jakarta. “Ini lumayan buat jajan..” Sedih sekali jika saya ingat itu. Sekarang jika saya pulang ke Jakarta, tidak ada lagi sosok itu. Hanya ada kekosongan jika saya membuka kamarnya.
Seminggu setelah pemakaman, saya hendak kembali pulang ke Jatinangor. Karena sudah kebiasaan, saya mampir ke kamarnya sebelum saya pergi. Saya lupa bahwa dia sudah pergi. Saya sempat berdiri mematung karena mendapati kamar sudah kosong. Saya hanya bisa menangis sendirian di kasurnya. Sempat terbersit dalam benak saya, kenapa dia pergi secepat ini. Saya belum bisa membahagiakan dia..
Dia belum melihat saya lulus kuliah..
Uti.. Aku kangen……
Jakarta, Y&C