Saya masih duduk di sini. Matahari yang berwarna jingga mulai bersembunyi di balik lembayung awan mendung di tengah lautan. Sepertinya sudah hujan di laut sana, tapi saya masih tidak ingin pergi dari pantai ini.
Sesekali ku tenggak botol bir warna hijau yang ada di genggamanku. Pantai, bir dan sunset adalah sebuah padanan yang sangat serasi. Mataku menatap ke depan.
Tatapan kosong…
______________________
“Hey, aku cariin kamu kemana-mana, ternyata ada disini,” teriaknya sambil lari tergopoh-gopoh dari pondokan tempat kami menginap semalam.
“Iya, aku lagi butuh udara segar,” jawabku sambil sekilas menatapnya kemudian kembali sibuk dengan tweeting. Saya baru saja ngetweet ‘Pantai dan kesendirian. Lame’
***
Semalam kami bertengkar hebat. Rasanya tidak pantas jika harus saya uraikan disini apa isi pertengkaran kami. Terlalu menyakitkan untuk dideskripsikan. Intinya adalah, dia terlalu mencintai egonya tanpa mempedulikan perasaanku. Yaaa, lagi-lagi masalah ego yang selalu menjadi tembok beton diantara kami.
Pacarku, eh salah, maksudku, mantan pacarku, karena kami baru saja putus semalam, adalah seorang pria keturunan Belanda Jawa. Maksud liburan kami ke Pantai Batu Karas ini adalah untuk merayakan hubungan kami yang sudah mencapai usia 3 tahun. Waktu yang lama untuk sebuah hubungan. Rencana awalnya adalah, kami ingin melakukan first sex kami di pinggir pantai. Bukan first sex sesungguhnya, karena kalian pasti tahu bagaimana hasrat seksual orang bule yang sangat menggebu-gebu, sudah pastilah saya sudah tidak perawan.
Minggu depan, mantan pacar saya akan kembali ke negara asalnya, Kanada, karena visa dia di Indonesia sudah habis. Ya dia memang keturunan Belanda Jawa, tapi dia lahir dan besar di Toronto, sebuah kota besar di tepi Danau Ontario di Kanada.
Susah memang berhubungan dengan orang asing. Faktor bahasa bukan sebuah halangan, melainkan pola berpikir dan cara pandang mereka yang terkadang cenderung individualis.
Saya sudah menantikan sebuah cincin lamaran bertahtakan berlian darinya untuk disematkan di jari manis ini selama 3 tahun usia pacaran kami. Ada saja alasan yang keluar dari mulutnya. Salah satunya, karena saya seorang muslim sedangkan dia adalah seorang Yahudi. Bukan dia yang Yahudi sebenarnya, melainkan keluarganya. Dia adalah seorang agnostic. Dia dan saya, atau mungkin kalian semua sebenarnya sama saja, beragama karena ‘paksaan’ sejak lahir. Ok, cukup soal agama.
Saya akan ditinggalkan, Eric, nama mantan pacar saya itu. Eric Swatson, akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya. Saya diajak untuk ikut serta hijrah ke Kanada, namun saya menolak. Saya sadar, sebenarnya semua orang memiliki haknya untuk memilih jalan hidup masin-masing. Namun tidak semudah itu. Sebagai orang Sunda asli, saya sangat dekat dengan keluarga saya. Saya tidak bisa jauh dari mereka. Saya tidak menyalahkan diri saya yang terlahir sebagai seorang Indonesia yang sangat mengagung-agungkan keluarga, norma dan adat istiadat. Justru saya bangga akan hal itu. Saya memiliki sebuah pedoman hidup, sehingga saya tidak akan jatuh sendirian suatu hari nanti. Masih ada keluarga. Setidaknya.. Bahkan saat saya pertama kali berhubungan dengan Eric, kedua orangtua saya langsung berceramah panjang lebar, tidak mau anaknya disakiti oleh orang bule. Mungkin trauma masa penjajahan..
Sungguh sebuah kegilaan. Saya tidak menyangka akan menolak ajakan Eric. Saya tunggu dia selama 3 tahun untuk cincin itu, namun ketika saya diajak hijrah bersamanya, malah saya menolak. Saya sangat mencintainya namun dia seorang tidak cukup. Saya juga memerlukan orang-orang terdekat saya untuk ada di sekeliling saya. Akhirnya.. Dia memutuskan saya, membuang saya, kemarin malam.
***
“Aku harus segera pulang,” bisik Eric sambil menatap lurus ke tengah lautan. Ombak yang besar menghantam tepi pantai menambah dramatis suasana perpisahan itu. Menggambarkan hati saya yang sedang digerus jahatnya ombak percintaan.
“So go away. Just go away!”
“Hey what’s a matter with you? Ini bukan Juwita yang aku kenal. Juwita yang aku kenal adalah seorang perempuan Sunda yang selalu tersenyum dan sabar menghadapi semuanya. Mana semua perkataan bijak yang selama 3 tahun ini selalu kamu katakan ke aku?”
…deburan ombak…
“Ok fine. I’ll go then,” teriak Eric sambil berdiri, membersihkan celana bagian belakangnya dari pasir, lalu pergi meninggalkanku. Sendirian..
“Hey Juwita!! I love you.. Forever,” tiba-tiba saya dengar teriakan dia. Aku toleh ke belakang, ternyata dia meneriakkan itu sambil terus berlalu.
Saya terdiam..
______________________
Dua jam setelah kudengar teriakan itu, inilah saya. Masih terduduk di pantai.
Tiba-tiba saya tersadar. Sebenarnya saya lah yang egois. Eric sudah mengorbankan dirinya selama 3 tahun ini di Indonesia. Seharusnya, perjalanan bisnisnya sudah selesai sejak 2 tahun lalu. Namun ketika kami pertama kali bertemu di sebuah klub malam di Kota Bandung, sejak itulah dia harus memperpanjang visanya untuk terus dekat denganku.
Tapi apa yang aku lakukan? Aku justru memilih untuk tetap tinggal di sini. Di comfort zone ini. Kedua orangtuaku pun sebenarnya sudah merestui jika suatu saat saya akan diboyong ke Kanada. Itu mereka katakan saat mereka menceramahi saya saat pertama kali berhubungan dengan Eric. Tapi ada apa denganku?
Saya terlalu egois karena tidak memandang semuanya dari banyak sudut pandang. Sayalah yang tidak mengerti perasaan Eric. Sayalah tidak berani untuk hidup di luar negri, jauh dari keluarga. Padahal dengan harta yang Eric miliki, saya bisa saja memasang sambungan internet di rumah, sehingga bisa melakukan video call via internet jika kangen keluarga di Indonesia.
Semua sudah telat. Saat ini pasti Eric sudah jauh. Tidak mungkin bagi saya untuk mengejarnya. Tapi saat terakhirnya, dia bilang dia sayang sama saya.
Ah tidak, saya tidak ingin menyakiti hatinya untuk kedua kalinya. Jika kemudian saya menyusulnya, kemudian ternyata saya melakukan tindakan egois untuk kedua kalinya, saya rasa saya perlu dihukum oleh Tuhan karena menyakiti hati orang yang sama sebanyak dua kali.
Di pantai ini saya hanya bisa mendoakan dia. Mendoakan supaya dia menjadi seorang manusia yang bisa menyayangi keluarganya nanti seperti dia menyayangi saya. Suara tangisan saya tertutup oleh deburan ombak yang menabrak karang. Jejak langkah kaki Eric di pasir sudah hilang tersapu ombak. Matahari rupanya sudah mengintip dari horison. Langit mulai gelap, dan ternyata lembayun mendung itu sudah mendekat. Tetesan hujan mulai turun.
Hahhh, biarlah semua ini larut dalam hujan. Kehidupan ini akan sangat berbeda jalan ceritanya, tergantung dari apa langkah dan upaya yang kita tempuh. Saya, perempuan dengan segala ketakutan dan keegoisan ini, akhirnya harus kehilangan sosok seorang Eric Swatson yang sangat sempurna bagi saya.
I’m sorry Eric..
Jatinangor, y&c