Pages

Wednesday, April 27, 2011

Kompensasi

Kompensasi.. Banyak orang mengartikannya sebagai imbalan. Memang. Imbalan itu bisa dimaknai secara positif, maupun negatif. Semua cenderung relatif.

Dalam sebuah artikel di sebuah surat kabar nasional, menceritakan mengenai kompensasi. Istilah kompensasi yang ternyata juga dipakai dalam dunia ekologi tumbuhan. Artikel ini menceritakan mengenai kompensasi yang dirasakan pohon, atau tanaman yang diserang oleh hama ulat bulu. Pepohonan yang kemudian meranggas karena digerogoti ulat bulu, ternyata akan tumbuh lebih kuat, berdaun lebih lebat, dan berbuah dengan kuantitas dan kualitas yagn lebih baik. Ini disebut dengan istilah “Kompensasi”. Kompensasi yang positif.

Lantas apa kompensasi yang negatif? Entahlah. Saya sendiri tidak begitu mengerti mengenai positif dan negatif. Walaupun biasanya setiap orang cenderung lebih mudah menilai semua hal yang negatif dibandingkan yang positif. Orang akan lebih mengingat hal yang negatif dari sesuatu hal, atau dari orang lain, ketimbang mengingat hal yang postif dari sesuatu hal atau orang lain tersebut..

Teror bom mulai kembali marak. Layaknya tren baju spring yang sedang up to date, berita teror bom kembali sering menghiasi layar televisi, surat kabar dan timeline Twitter baru-baru ini.

Untunglah isu-isu bom ini tidak kemudian menenggelamkan Indonesia seperti yang sudah-sudah. Teror demi teror ini memberikan kompensasi yang nyaris sejajar dengan istilah “kompensasi” pada dunia ekologi tumbuhan yang telah dibahas di atas tadi. Teror-teror bom tersebut justru semakin menyadarkan rakyat Indonesia akan sebuah ancaman. Ancaman yang menginginkan perpecahan di negeri ini. Ancaman yang ingin mengahncurkan ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an di zamrud khatulistiwa.

Terimakasih untuikpada tukang teror--saya sebut tukang karena sepertinya orang-orang tidak berguna seperti ini mulai menganggap bahwa menjadi teroris meruapakn profesi—telah menumbuhkan semangat pemberantasannya. Suicide mission untuk para tukang teror itu. Mau melibas 230juta rakyat Indonesia? Jangen coba-coba. Jika kalian tidak suka dengan perbedaan di negara ini, jika kalian tidak suka dengan—yang katanya—kemungkaran di negeri ini, silahkan cari negeri lain yang semua penduduknya tidak punya otak. Tidak di negeri ini. Negeri ini bisa tumbuh sebesar saat ini justru karena banyaknya perbedaan. Jika tidak karena adanya etnis Tionghoa, perdagangan tidak akan pernah sukses. Jika tidak karena adanya umat Kristiani, departemen store tidak akan bisa membagikan bonus untuk para karyawannya karena peningkatan penjualan saat Natal. Jika tidak karena F.X. Silaban, Masjid Istiqlal tidak akan berdiri. Dan yang terpenting, jika tidak karena para tukang teror, saya tidak akan mampu mempunyai pemikiran seperti yang tertuang dalam tulisan ini.

 

Jakarta,

y&c