Pages

Friday, March 25, 2011

The Cruise series. The meeting. (Part 1)

queen-mary-2

Vivo City yang besar sudah mulai terlihat kecil. Sudah sekitar 15 menit yang lalu kapal ini meninggalkan Singapore Cruise Centre, dermaga yang diperuntukkan untuk tempat bersandar kapal pesiar dari seluruh dunia. Relieved..

Untuk kali pertama saya bisa berlibur bersama keluarga setelah kurun waktu 10 tahun. Inilah saat yang saya tunggu.. seharusnya. Namun mungkin sekelumit masalah yang saya tinggalkan di belakang, masih menumpuk, dan siap menampar saya sekembalinya saya di tanah Singa itu. Pekerjaan saya sebagai seorang editor di sebuah majalah lifestyle ternama memang telah menyita waktu saya. Waktu untuk sekedar me time, waktu luang bersama keluarga, apalagi waktu untuk bersama pacar.

Saya tidak merasa tinggal di kawasan Asia Tenggara. Saya seperti tinggal di Jepang, di mana waktu sangat cepat datang dan pergi. Everything’s rushing in this island. And I need a break. Whether there’s still a huge homework back then, I don’t care. It’s okay to break rules sometimes though.

Masih ada 72 hari perjalanan sebelum Queen Mary 2 ini sampai di New York. Entah apa rasanya saat saya bisa melihat Patung Liberty menyambut kapal ini datang. Queen Mary 2 masih memegang status sebagai kapal pesiar terbesar yang mengarungi lautan dunia sampai saat ini. 21st century’s Titanic. Ada yang menarik, kapal ini memiliki planetarium. Yes, this is the first floating planetarium in the world. Amazing. Watching the star constellations in the middle of the darkness of the ocean, epic!

Queen Mary 2 akan bersandar di 21 dermaga kapal pesiar ternama dunia, sepanjang Laut China Selatan, Samudera Hindia dan Atlantik.

 

 It’s gonna be a long journey…

******

1st STOP. Laem Chabang,Thailand.

Setelah menempuh perjalanan laut 47 jam, Queen Mary menyandar di Laem Chabang International Terminal pukul 8 pagi. Laem Cabang adalah sebuah kota pelabuhan. Hiruk pikuk kapal kontainer sudah hilir mudik di pelabuhan yang terletak di Teluk Thailand itu. Letaknya cukup jauh dari Bangkok. Saya agak kapok untuk bepergian di tanah Thai. Kebanyakan orang Thai tidak bisa berbahasa Inggris, dan itu sangat menyulitkan. Kapal akan bersandar agak lama, sekitar 10 jam.

What should I do then? Goshhh…

Ayah dan Ibu sudah rapi, mengenakan sunglasses dan topi ala turis dengan kamera yang digantungkan di leher. They’re so exciting.

Kamu gak turun, dek?

Gak ah. Nanti aja. Ayah ibu duluan aja. Kak Tisa dan Kak Rio mana?

Mereka sudah tunggu di depan lift. Ya udah nanti kalo kamu sudah turun, kasih tau ayah ibu ya.

Yeah, okay.

Saya melengos, tapi masih bisa merasakan bahwa kedua orangtua saya saling bertatapan mata heran. Mungkin mereka berpikir, ini adalah liburan yang saya rencanakan, tapi kenapa saya terlihat tidak bernafsu. Hell..

Saya memutuskan untuk berjalan-jalan di dek kapal. Saya masih sibuk dengan BlackBerry saya yang sedaritadi terus kedatangan email kerjaan. Saya agak menyesal membawa BB ini. Kalau saja bukan karena Peter yang memaksa..

Ting. BBM masuk..

How’s your trip beib? Pogoshipo.. (Pogoshipo, bahasa Korea yang artinya ‘kangen’)

So so.. Don’t really like this 1st stop. Kinda boring. Hehe. Miss you too, P. XOXO

Saya bersandar ke railing. Sesekali melihat ke pemandangan Laem Chabang yang tidak kalah kumuh dengan Marunda di Jakarta. Perhatian mata saya sedang terpusat ke lingkaran di jati manis tangan kiri. I’m taken. Bound. Gara-gara lingkaran ini saya harus membawa BB. Karena lingkaran ini saya harus memboyong keluarga saya pergi ke New York, tempat Peter tinggal. Senyum tipis..

Saya terus memutar-mutar cincin ini. Memandanginya dan tidak pernah bosan.

Hey engaged boy!

Saya kaget dan reflek langsung menyembunyikan tangan kiri saya ke dalam kantung celana.

Me?

Yeah you. Who else..

Is there anything I can help?

Naaa. Just want to say hi. I’ve been watching you since you’re doing monologue mimics while staring on your smartphone.

Saya hanya bisa senyum kepadanya kemudian membuang muka ke arah Laem Chabang.

I love this town. Busy yet traditional.

So typical. My fiance feel the same way.

Haha. You’re funny.

Tertawa kecil.

May I see your left hand?

What for?

Just curious..

Saya memberikan tangan kiri saya kepadanya. Dia membaliknya dan meraba telapak tangan saya.

Hmmm.. You’re going to see a man in this ship.

Ah man, that’s cheesy. You want me to ask you, ‘Ohhh who’s that man?’ And then you’ll answer, ‘He’s right in front of you.’ Are you livin in 90’s? Come on!!!

Oh wow. You’re such a sidekick! Damnnn. This trick always works.

Yeahhh it works to an easy man, but not me.

Anyway, I’m Sean. You?

Dia menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

Why would I shake your hand and tell you my name?

Because you want to…

Ah mata itu. Menatap tajam ke dalam mata saya.. Sigh.

A.. a.. I’m Wisnu.

See? I’ve told yaaa. It’s nice to meet you. I have to go.. See you around!

Ok. Bye.

Dia sudah menjauh. Saya kembali memandangi cincin ini. Sebenarnya terbersit dalam pikiran ini.. Apakah keputusan saya ini sudah tepat. Apakah Peter memang pasangan hidup saya…

Di kejauhan, rupanya Sean menatap saya tanpa saya ketahui. He’s smiling.

 

CONTINUE….

 

Jatinangor

y&c

Tuesday, March 22, 2011

2PM, Eksistensi dan Pengakuan

Saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga hari Sabtu, 19 Maret 2011 lalu. Saya termasuk diantara mereka yang datang ke konser Live & Rockin’ yang diselenggaran BlackBerry, bekerjasama dengan Ismaya Live. Ada sederet artis yang tampil: 2PM (boyband asal Korea Selatan), Shontelle, Taio Cruz dan Suede.

Saya sangat antusias dengan konser ini. Dua artis favorit saya, 2PMdan Suede hadir di sana. Singkat cerita, saya sudah berada di dalam Hall A JIEXPO Kemayoran Jakarta.

****

Artis: 2PM. Segmentasi penonton: ABG (Anak Baru Gede) labil. Antusiasme penonton: sakit jiwa.

Saya tidak menyangka akan sebanyak itu penonton 2PM. Bahkan untuk mengangkat tangan pun sulit. Saya terlalu sibuk untuk menjaga keseimbangan berdiri diantara baunya keringat para ABG cewek itu (saya masih heran kenapa masih muda tapi mereka sudah memiliki bau badan yang menjijikkan). Saya juga terlalu sibuk untuk menyingkirkan tangan yang memegang kamera yang sibuk merekam penampilan 2PM. Pun juga saya sibuk menutup telinga tatkala ada seorang ABG yang berteriak (misalkan) “CHANSUNGGG” tepat di samping telinga saya.

Ada satu fenomena yang menurut saya menarik saat konser ini. Para penonton memang sangat antusias terhadap 2PM, tapi mereka hanya antusias terhadap  2PM untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka menonton 2PM, bahwa mereka ada di acara ini, mereka ingin mengumpulkan bukti tentang eksistensi mereka dalam acara ini. Seketika 2PM muncul di atas panggung, teriakan disertai kilatan cahaya flash dari kamera, entah itu kamera BlackBerry agar bisa langsung mereka tweet atau dari kamera digital agar bisa mereka upload di account Facebook masing-masing. Seketika ribuan ABG labil mengangkat satu tangan mereka, mengarahkan kamera ke 2PM, SIBUK SENDIRI! Mereka berteriak mengelu-elukan 2PM, padahal pikiran mereka melayang, “bagaimana caranya agar foto ini, atau video ini, bisa menjadi bukti otentik kehadiran gw di sini.”

Entahlah mungkin mereka berusia belasan, dan mungkin memang itu fenomena yang biasa terjadi pada anak seumuran mereka. Namun cara mereka menunjukkan eksistensi dirinya sudah di luar batas kewajaran. Teknologi terlalu memanjakan remaja masa kini, teknologi juga yang membuat mereka semakin tergila-gila dengan eksistensi dan pengakuan.

Maaf sebelumnya, namun bagi saya attitude mereka saat menonton 2PM hanya sebuah bentuk pembuktian diri yang cenderung KAMPUNGAN. Mereka tidak tahu kapan menempatkan diri, memposisikan diri, bahkan menghormati orang lain. Rasanya tidak sedikit orang yang mengeluh sama seperti saya.

Saya mulai merasakan akibat negatif dari social media. Social media cenderung membuat orang untuk berlomba-lomba unjuk diri. Sebenarnya itu bagus, tapi jika kemudian ajang unjuk diri itu harus melalui proses yang kurang beretika, itu yang tidak baik. Unjuk diri yang cenderung hanya berembel-embel “ikut-ikutan”, kasarnya “TREND”!

Terlepas dari beberapa fans berat yang memang ingin mengabadikan artis idolanya tampil di panggung, mereka semua hanya ingin menunjukkan eksistensi dan menginginkan pengakuan. Sebenarnya saya pun begitu. Anda dapat membaca dari tweet-tweet saya, tapi itu semua masih dalam batas kewajaran dan tidak merugikan orang lain. Namun jika cara menunjukkan eksistensi dan keinginan pengakuan itu sudah merugikan orang lain, itu sudah tidak baik. Terbukti saat Suede tampil, semuanya berjalan tertib. Penonton sudah mulai dewasa menyikapi. Tidak sedikit yang mengabadikan penampilan Suede, namun tidak juga kemudian merugikan penonton yang lainnya. Apakah itu semua dikarenakan perbedaan umur penonton 2PM dan Suede? Atau karena telah terjadi pergeseran nilai yang tertanam dalam anak remaja generasi masa kini? Saya tidak mau menyalahkan teknologi social media, tapi rasanya para orangtua dan sekolah harus mulai memandang persoalan eksistensi dan pengakuan ini sebagai sesuatu yang perlu ditindaklanjuti. Mari kita lihat bagaimana attitude penonton saat 2PM mengadakan konser tunggal di akhir tahun ini di Indonesia.

 

Jatinangor,

y&c